SAMARINDA – borneoupdate.com, Badan Kehormatan (BK) DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) menegaskan bahwa tidak terdapat pelanggaran etika dalam insiden yang melibatkan dua anggota Komisi IV DPRD Kaltim, yakni Andi Satya Adi Saputra dan Darlis Pattalongi. Insiden tersebut terjadi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama RS Haji Darjad pada akhir April 2025.
Putusan ini dikeluarkan setelah BK melakukan pemeriksaan dan kajian mendalam terhadap laporan dari DPD Ikadin Kaltim serta Tim Advokasi Bubuhan Advokat Kaltim. BK menyimpulkan bahwa tindakan kedua anggota dewan masih berada dalam koridor kewenangan sesuai tata tertib DPRD dan Undang-Undang tentang Advokat.
“Alhamdulillah keputusan BK sudah keluar. Kami apresiasi karena BK telah menjalankan proses yang fair dan transparan,” ucap Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Andi Satya Adi Saputra, beberapa waktu lalu.
Andi Satya menyatakan bahwa tidak ada niat untuk merendahkan profesi advokat saat dirinya meminta kuasa hukum RS Haji Darjad untuk keluar dari forum RDP. Menurutnya, langkah itu diambil guna menjaga fokus rapat pada substansi pembahasan dan tanggung jawab dari pihak manajemen rumah sakit.
“Insyaallah semangat kami untuk menyuarakan kepentingan masyarakat tidak akan berkurang,” lanjutnya.
Meski mendapatkan laporan atas tindakannya, Andi Satya memilih tidak mengambil langkah hukum balasan. Ia lebih mengedepankan penyelesaian secara damai agar tidak memperpanjang polemik.
“Kita semua harus bisa hidup berdampingan. Tidak perlu ada tuntut-menuntut balik. Yang penting, semua pihak menghormati keputusan BK,” tambahnya.
Hal senada disampaikan oleh Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi. Ia menyebut keputusan BK menjadi jawaban yang cukup atas polemik yang berkembang, dan berharap semua pihak menerima hasilnya secara bijak.
“Kami berharap semua pihak menghargai dan menghormati keputusan BK. Ini negara hukum. Kami sudah mengikuti semua prosedur. Setelah keputusan keluar kami anggap polemik ini selesai,” kata Darlis.
Ia juga menegaskan bahwa tujuan utama dari pelaksanaan RDP adalah untuk mendapatkan klarifikasi dari pengelola rumah sakit sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Menurutnya, hal itu merupakan prosedur kelembagaan, bukan bentuk pelecehan terhadap profesi tertentu.
“Ketika kami mengundang suatu pihak ke rapat tentu kami ingin penjelasan langsung dari pihak utama yang bertanggung jawab. Itu bukan bentuk pelecehan terhadap profesi, tapi tata cara kerja kelembagaan,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, menjelaskan bahwa seluruh proses penilaian dilakukan berdasarkan ketentuan hukum dan peraturan internal dewan. Ia menegaskan bahwa tindakan meminta kuasa hukum keluar dari ruang rapat tidak termasuk pelampauan kewenangan.
“Permintaan kepada kuasa hukum RS untuk meninggalkan ruang RDP saat itu tidak melampaui kewenangan. Forum tersebut memang ditujukan untuk meminta pertanggungjawaban dari pihak manajemen rumah sakit, bukan dari kuasa hukumnya,” terang Subandi.
Ia juga menyebut bahwa seluruh proses tersebut tidak memerlukan sidang etik lanjutan dan keputusan yang diambil bersifat final.
“Keputusan ini final secara kelembagaan. Ini soal menjaga marwah lembaga dan membangun relasi profesional yang sehat,” pungkasnya.(adv-dprdkaltim/sd)
















Discussion about this post