Balikpapan, Borneoupdate.com- Pemerintah Provinsi Kaltim berkomitmen akan tetap mengalokasikan anggaran untuk membiayai peserta penerima bantuan iuran (PBI) sesuai amanat Perpres 75/2019 pada tahun ini. Meski diprediksi anggaran PBI yang dimiliki pemerintah di daerah tidak akan mencukupi karena pengesahan ABPD tidak bersamaan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Akibaty anggaran yang diketok lebih rendah dari biaya yang harus dikeluarkan untuk PBI.
Usai menerima kunjungan kerja Komisi IX DPR RI di kantor Walikota Balikpapan, Kamis (30/1) siang, Gubernur Kaltim, Isran Noor mengatakan sesuai edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) kepada seluruh kepala daerah untuk melaksanakan Perpres 75/2019. Perpres ini mengatur penyesuaian iuran seluruh segmen peserta, di mana iuran PBI naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000.
Perpres ini juga mengatur bahwa iuran PBI yang dibiayai dari APBN mulai naik 1 Agustus 2019, dan dibayar sekaligus untuk lima bulan terakhir di 2019 (Agustus-Desember) oleh pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah di daerah baru mulai membayar sesuai tarif iuran yang dimulai 1 Januari 2020.
“Kami usahakan dari APBD Kaltim ada untuk menutupi kekurangan yang terjadi. Nanti kita lihat bagaimana pergerakan anggaran murni yang ada saat ini. Kalau ada sisa lebihnya itu yang kami gunakan,” ujar Isran saat diwawancarai wartawan di Balikpapan.
Menurutnya aturan kenaikan iuran ditetapkan pemerintah pusat pada posisi pemerintah di daerah sudah selesai menyusun alokasi APBD 2020. Namun pihaknya tidak akan beralasan untuk tidak menganggarkan PBI di tahun ini. Sebab pemerintah daerah bisa mengubah peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD 2020. Surat pemberitahuan tentang perubahan Perkada ini disampaikan kepada pimpinan DPRD dan dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran APBD.
“Yang jelas kami belum menyatakan keberatan atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini. Kami upayakan ada anggaran untuk menutupinya. Tapi saya tidak hafal kalau ditanya berapa anggaran yang akan disediakan,” jelas mantan Bupati Kutim ini.
Dikatakan Isran, pemerintah di kabupaten kota bisa menyiasati ini dengan mengacu pada PP/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. PP ini mengatur mekanisme kriteria belanja tidak terduga (BTT) atau mendesak. Iuran JKN-KIS termasuk yang mandatori dan mendesak karena terkait pelayanan dasar kesehatan masyarakat yang harus dipenuhi.
“Ada juga anggaran tak terduga di tiap daerah itu bisa juga dipakai. Kalau tidak ada lagi ya kewat rasionalisasi anggaran. Mana yang tidak perlu mungkin bisa ditunda dan dialihkan ke PBI,” tuturnya.
Sementara anggota Komisi IX DPR RI, Darul Siska mengatakan bahwa pihaknya sedang mengupayakan solusi untuk PBI. Sebab pemerintah di daerah dipastikan mengalami kekurangan anggaran untuk membiayai PBI. Sementara kenaikan iuran dilakukan BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2020.
“Ini kan masalah buat pemerintah daerah untuk menutupi pembayaran BPJS Kesehatan. Sementara pembahasan ABPDP masih lama. Ini yang sedang kami perjuangkan. Kami sedang berkoordinasi dengan menteri kesehatan untuk menggunakan selisih dana keuntungan BPJS sebagai solusi,” ungkapnya.
Namun kendala yang dihadapi tambah Darul, belum ada kesepakatan antara pemerintah, DPR dan manajemen BPJS Kesehatan untuk penggunaan dana keuntungan tersebut. “Yang jelas itu bisa digunakan sementara aturan tidak menghambat,” tutupnya. (FAD)
Discussion about this post