JAKARTA – Permohonan pembatalan perdamaian (Homologasi) PT Bali
Ragawisata (PT BRW) yang diajukan oleh pemegang sahamnya di Pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menimbulkan polemik. Permohonan pembatalan
perdamaian yang diajukan oleh pemegang saham yang juga menjadi kreditor suatu
perusahaan wajib diteliti secara cermat, terutama terkait maksud pemegang saham
dalam mengambil langkah hukum tersebut.
Majelis hakim yang menangani perkara hukum PT Bali Ragawisata (PT BRW)
diminta untuk bersikap jeli terkait pengajuan pembatalan perdamaian (homologasi)
pada Pengadilan Niaga yang dapat berujung pailit oleh pemegang saham kepada
perusahaannya sendiri.
Hal ini disampaikan Chairul
Aman SH., MH, praktisi hukum kepailitan sekaligus pengajar pada Sekolah Tinggi
Ilmu Hukum (STIH) atau Universitas Dharma Indonesia.
“Seorang kreditor
yang juga merupakan pemegang saham dan mengajukan permohonan pembatalan
perdamaian atau homologasi itu bisa saja diperkenankan sepanjang memenuhi
syarat pembatalan perdamaian sesuai Undang- Undang. Tapi tujuan permohonan
tersebut perlu untuk dipertanyakan mengingat status pemegang saham yang
merupakan pemilik dari perusahaan dan terdapat kreditor-kreditor lain yang
mungkin akan dirugikan karena akan membebani harta pailit dalam keadaan pailitnya
suatu Perusahaan. Dalam perkara kepailitan tertentu Jika ditemui indikasi
adanya dugaan atau patut diduga terdapat settingan atau patut diduga
karena pemohon adalah pemegang saham yang ingin menyelamatkan hartanya yang ada
pada perusahaan atau untuk meminimalisir kerugian dalam posisi yang ditagihkan
kepada harta pailit nantinya adalah merupakan hartanya yang telah masuk kepada
Perusahaan sebagai modal atau saham. Maka di sini tugas dari majelis hakim untuk
bijaksana dan jeli dalam memeriksa perkara tersebut sekalipun ada mekanisme dan
aturan hukum untuk itu,” kata Chairul Aman saat berbincang melalui saluran
telepon dari Jakarta.
Chairul melanjutkan bahwa seorang pemegang saham sepatutnya menjaga
perusahaan agar jangan sampai berada dalam kondisi pailit. Alasannya akibat
dari kepailitan adalah perusahaan kehilangan haknya untuk mengurus harta
kekayaannya dan seluruh harta perusahaan harus dijual di muka umum untuk
membayar utang-utangnya kepada seluruh kreditor, apabila perusahaan berada
dalam kondisi insolvensi bisa berakhir pada dilikuidasinya perusahaan setelah
berakhirnya kepailitan.
Chairul melanjutkan dengan diajukannya permohonan pembatalan perdamaian
yang akan berujung pada pailitnya perusahaan, maka patut dipertanyakan apa
motif dari pemegang saham tersebut. Ia menilai harusnya jangan sampai hal
tersebut dilakukan karena dapat berpotensi merugikan kreditor-kreditor lain.
Menurut Chairul, seharusnya permasalahan utang-piutang dengan perusahaan juga bisa diselesaikan
dengan mekanisme lain yang tidak menimbulkan dampak signifikan bagi
kelangsungan usaha perusahaan serta nantinya tidak merugikan semua pihak. Untuk
itu ia menyarankan agar hal tersebut perlu untuk dicermati oleh majelis hakim
yang memeriksa dan memutus perkara tersebut.
“Sekali lagi inilah tugas dari majelis hakim dalam memutuskan perkara tersebut,”
kata Chairul kembali menegaskan.
Sebagaimana diketahui, saat ini PT BRW sedang menjalani persidangan di
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Perusahaan ini menuai enam Permohonan Pembatalan
Perdamaian (Homologasi), salah satunya diajukan oleh pemegang saham dari PT
BRW, Lily Bintoro. Berdasarkan data profil perusahaan PT Bali Ragawisata yang didapatkan
melalui website resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian
Hukum Republik Indonesia, nama Lily Bintoro tercatat sebagai pemegang saham,
bersama-sama dengan Djie Tjian An, Didi Dawis, dan Saiman Ernawan.
Permohonan Pembatalan Perdamaian ini muncul di saat pihak PT BRW terikat
dan memiliki kewajiban untuk menjalankan isi kesepakatan perdamaian
(homologasi) guna melunasi utangnya sebesar kurang lebih Rp 3,5 Triliun berdasarkan
Putusan Homologasi yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada
Februari 2021. Dalam putusan tersebut, perusahaan yang didirikan pada tahun
1990 tersebut diperintahkan untuk melunasi utang kepada para kreditor separatis
(utang bank) dan kreditor lainnya.
Sementara itu, 6 (enam) persidangan atas gugatan pembatalan Perdamaian (Homologasi)
kepada PT BRW telah berjalan. Adapun
para pemohon yang tercatat adalah Lily Bintoro, yang juga merupakan salah satu
pemegang saham PT BRW dan PT Bhumi Cahaya Mulia (Perkara No. 18), CV Dwi Putu
Kassirano (Perkara No. 19), Simon Chang (Perkara No. 20), PT Pilar Garba Inti
(Perkara No. 21), Ryo Okawa (Perkara No. 22) serta PT Tatamulia Nusantara
Indah, PT Karya Intertek Kencana, dan PT Karya Makmur Integra (Perkara No. 23).
Secara terpisah, kuasa hukum PT BRW, Ghazi Luthfi menjelaskan masalah
hukum ini terjadi setelah PT BRW berusaha melakukan restrukturisasi utang
perusahaan. Ia mengatakan PT BRW telah berupaya melakukan kewajiban pembayarannya
kepada para kreditor dengan cara melakukan penjualan asetnya berupa tanah dan
bangunan di Bali. Sejak 2021 sampai dengan 2023, PT BRW telah berhasil
menjalankan kewajibannya kepada para kreditor.
Namun pada tahun 2024, upaya PT BRW untuk memenuhi kewajibannya
terkendala karena penjualan aset tersebut mendapat berbagai halangan dari
Saiman Ernawan, salah satu pemegang saham PT BRW yang mengaku memiliki tagihan
kepada PT BRW sebesar kurang lebih Rp. 1,3 Trilliun serta pernah menjabat
sebagai Direktur Utama PT BRW sampai dengan tahun 2021 sebelum akhirnya
digantikan oleh Triono Juliarso Dawis.
Halangan tersebut terjadi dengan dibuatnya aduan masyarakat kepada
polisi dan juga gugatan perdata di Pengadilan Negeri Denpasar yang dilakukan
oleh Saiman Ernawan yang mengakibatkan tanah PT BRW berada dalam status blokir atau
dibekukan dan pemberitaan yang buruk di media massa sehingga akan sulit untuk
dijual untuk melaksanakan putusan homologasi. Ironisnya hal tersebut dilakukan
setelah PT BRW berhasil melunasi utang kepada bank dan Saiman Ernawan menikmati
benefit dengan terbebasnya Personal Guarantee yang sebelumnya dijanjikan kepada
para Bank kreditor sindikasi.
“Putusan Homologasi sebelumnya telah mengatur bahwa PT BRW harus
melunasi utang-utangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dengan pembayaran
yang dilakukan setiap tahunnya pada tanggal 31 Desember. Walaupun akhirnya
aduan masyarakat yang dilakukan oleh Saiman Ernawan kepada Polda Bali tidak
terbukti dan telah dihentikan tapi dikarenakan berbagai halangan tersebut,
sulit bagi PT BRW untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan putusan
homologasi karena tidak dimungkinkannya penjualan aset, terlebih para pemegang
saham juga tidak melakukan injeksi modal kepada PT BRW sehingga PT BRW tidak
memiliki dana yang cukup untuk membayar kewajibannya.” Jelas Ghazi.
Dari semua penjelasan tersebut, Chairul Aman kembali mengatakan dalam
perkara perdata atau kepailitan semacam ini memang kendala tersebut merupakan
hal yang sangat pelik dan sensitif. Dalam banyak kasus, kata dia, terkadang
sering kali ada kreditor sekaligus pemegang saham yang kemudian menjadi pemohon
dari perkara kepailitan atau pembatalan homologasi karena mempunyai tagihan atau
piutang terhadap perusahaan atau debitor.
“Sekali lagi semua ini baru akan terlihat diujungnya, hakim perlu untuk melihat
secara jeli apa maksud dari pemegang saham mengajukan permohonan pembatalan
perdamaian ini, apakah murni karena menginginkan tagihannya dibayar, atau by
design agar didahulukan dari kreditor lain atau karena tujuan-tujuan lain
pemegang saham tersebut menginginkan perusahaan berada dalam kondisi pailit
yang mana hal tersebut tidak sesuai dengan semangat dari undang-undang
kepailitan” ujar pengajar mata kuliah Hukum Kepailitan dan Hukum Peradilan
Niaga, Universitas Dharma Indonesia.
Artikel ini juga tayang di VRITIMES