Yogyakarta, Borneoupdate.com – Inflasi nasional untuk Juni 2024 diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berada di 2,51 persen secara tahunan dan secara bulanan mengalami deflasi yang lebih dalam dibandingkan Mei 2024. Deflasi tersebut berada di angka 0,08 persen dan disebutkan ini merupakan deflasi yang kedua kali selama tahun 2024 ini.
Lebih lanjut, deflasi juga terjadi pada komponen harga bergejolak secara bulanan. Komponen ini mengalami deflasi sebesar 0,98 persen dengan andil deflasi sebesar 0,16 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi dalam komponen bergejolak ini antara lain bawang merah, daging ayam ras, dan tomat. Di bulan sebelumnya, komponen harga bergejolak juga mengalami deflasi 0,69 persen. Namun secara tahunan, komponen harga bergejolak berada di 5,96 persen dengan andil dari beras, cabai merah, dan bawang merah.
Menanggapi ini, Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi mengutarakan pihaknya bersama segenap stakeholder pangan akan terus menjalankan berbagai instrumen pengendali inflasi, terutama inflasi pangan yang merupakan bagian dari komponen harga bergejolak.
“Kita pahami komponen volatile food itu sering menjadi penyumbang inflasi setiap bulannya. Jadi sebagaimana arahan Bapak Presiden Jokowi, pemerintah secara bersama-sama tanpa henti terus menerus akan menjalankan banyak instrumen pengendali inflasi pangan,” kata Arief dalam keterangannya di Yogyakarta, pada Selasa (2/7/2024).
Selama semester pertama di 2024 ini, frekuensi kelompok harga bergejolak sebagai komoditas penyumbang inflasi secara bulanan, disematkan BPS sebagai yang paling sering muncul. Dalam kurun waktu Januari sampai Juni 2024, ada frekuensi kemunculan sebanyak 4 kali berasal dari bawang merah, daging ayam ras, bawang putih, dan ikan segar. Sementara beras, cabai merah, dan telur ayam ras muncul 3 kali.
“Tentunya pencapaian yang merupakan hasil kolaborasi semua stakeholder pangan, salah satunya dapat terlihat pada historis inflasi tengah tahun. Di tengah tahun 2022, inflasi komponen harga bergejolak sempat cukup tinggi, yang kemudian terus kita tekan dan kendalikan, sehingga di tengah tahun 2024 ini, bisa lebih mengendur,” ungkap Arief.
Dalam catatan BPS, inflasi tengah tahun banyak disumbang oleh komoditas harga bergejolak. Selama kurun 6 tahun, komponen harga bergejolak kerap berada di angka yang paling tinggi dibandingkan komponen harga inti dan harga diatur pemerintah.
Namun telah terjadi penurunan inflasi komponen harga bergejolak dilihat dari year to date. Pada inflasi tengah tahun 2022, inflasi komponen harga bergejolak mendekati 8 persen. Dari itu menurun di tengah tahun 2023 menjadi sekitar 3,30 persen dan kembali menurun di 2024 menjadi 1,72 persen.
“Hal positif lainnya ada pada Nilai Tukar Petani (NTP) yang mulai beranjak naik kembali. Utamanya pada subsektor tanaman pangan di Juni 2024 ada kenaikan, sehingga kebijakan penetapan harga di tingkat produsen dari Badan Pangan Nasional cukup efektif menjaga kepentingan petani. Ke depannya kita akan terus menjaga pula di tingkat pedagang dan konsumen,” pungkasnya.
Untuk NTP di Juni 2024 mengalami kenaikan sebesar 1,77 persen menjadi 118,77 dari bulan sebelumnya yang berada di 116,71. Sementara Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP) juga naik 1,50 persen menjadi 106,20 persen dari bulan sebelumnya 104,63. Kenaikan ini merupakan angin segar mengingat NTPP mulai terdepresiasi sejak Maret 2024. Kala itu menurun 5,01 dari 120,30 menjadi 114,28.
Salah satu faktor pengungkit NTPP dipengaruhi oleh penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras melalui Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 4 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Perbadan 6 Tahun 2023 tentang Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras. Beleid ini disahkan pada awal Juni lalu.
Dengan itu, Perum Bulog ditugaskan untuk menyerap gabah dan beras petani dengan HPP tersebut sekaligus berperan sebagai jaring pengaman demi menjaga dan menahan harga dasar petani tidak terpuruk di kala suplai meningkat. Penetapan HPP ini tentunya mempertimbangkan aspek ekuilibrium harga dari hulu sampai hilir
“Kita percaya perlu mewujudkan kesetimbangan antara inflasi dan NTPP. Ini sangat penting agar ekosistem pangan nasional dapat menjadi semakin ideal berupa kondisi petani sejahtera, pedagang untung, dan masyarakat tersenyum,” pungkas Kepala NFA Arief Prasetyo Adi.
Terkait strategi dalam pengendalian Inflasi pangan, NFA telah menginisiasi melalui berbagai program intervensi ke pasar dan masyarakat bersama BUMN dan stakeholder pangan. Gerakan Pangan Murah (GPM) sejak awal tahun telah capai 5.329 kali dengan rincian Januari 518 kali, Februari 839 kali, Maret 2.050 kali, April 1.006 kali, Mei 430 kali, dan Juni 486 kali.
Kemudian NFA juga telah menugaskan Perum Bulog menggelontorkan beras SPHP ke seluruh daerah Sampai 21 Juni telah menorehkan realisasi 65,67 persen atau 788 ribu ton dari target 1,2 juta ton. Sementara realisasi beras SPHP yang disalurkan ke retail modern berada di angka 32,9 ribu ton.
Sementara itu, realisasi bantuan pangan beras kepada 22 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) untuk Januari-Maret 2024 telah mencapai 99,47 persen dan April-Juni di 62,5 persen. Terakhir, mobilisasi pangan melalui fasilitasi distribusi pangan hingga minggu kedua Juni sudah mencapai 122,3 ton berupa bawang merah 43 ton, cabai merah keriting 28,6 ton, beras 28,5 ton, daging ayam 15 ton, dan pangan pokok lainnya seperti minyak goreng, gula, telur ayam ras, cabai rawit merah, dan bawang putih. (*)
Discussion about this post