Balikpapan, kota minyak yang terkenal dengan kilang dan industrinya, ternyata masih punya “tumpahan masalah” yang lebih gawat dari sekadar bocoran pipa. Soalan itu bernama stunting. Berdasarkan data terbaru, prevalensi stunting di Balikpapan masih bercokol di angka 21,6 persen. Ya, ini bukan angka diskon di mal. Ini angka yang menunjukkan satu dari lima anak di Balikpapan tumbuh tidak sesuai harapan. Bukan karena malas makan tapi karena tubuhnya benar-benar kekurangan gizi. Ini jelas bukan masalah sepele.
“Semoga saat pengumuman nasional prevalensi stunting oleh pemerintah pusat, Balikpapan tidak menyumbang peningkatan angka,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Balikpapan, Alwiati. Ucapan itu terdengar seperti doa tapi juga peringatan keras untuk semua pihak yang masih menganggap stunting hanya urusan puskesmas.
Pemerintah setempat tidak sekadar berharap. Sudah ada gerakan mengajak semua sektor untuk berkolaborasi. Khususnya pada peran RT dan kader posyandu dalam mendeteksi dan melaporkan gejala kekurangan gizi atau pertumbuhan tak sesuai pada anak-anak. Intinya jangan biarkan anak-anak tumbuh menyusut tanpa ada yang menyadari. RT dan kader posyandu harus berubah dari sekadar “tukang timbang balita” menjadi “detektif gizi”.
Masalah stunting memang bukan hanya soal makan, tetapi soal perhatian. Banyak orang tua yang berpikir anak pendek itu turunan, bukan kurang gizi. Padahal, ilmu gizi sudah membuktikan bahwa tinggi badan anak lebih banyak dipengaruhi oleh nutrisi dan pola asuh. Bukan dari kakeknya yang jago silat tapi pendek. Jadi, mari hentikan dalih “anak saya pendek karena bapaknya juga begitu”. Itu bukan warisan, itu peringatan.
Pemerintah Kota Balikpapan memang sudah bergerak. Program intervensi gizi, penyuluhan kesehatan, hingga pemberian makanan tambahan sudah berjalan. Tapi semua itu akan percuma kalau masyarakatnya masih menganggap susu kental manis sebagai pengganti ASI. Edukasi gizi harus menembus tembok dapur bukan hanya berhenti di seminar ber-AC.
Lebih parah lagi, masih banyak orang tua yang menyuapi anaknya dengan gadget, bukan makanan sehat. Anak-anak kenyang dengan tontonan kanal YouTube. Tapi lapar zat besi dan protein. Ini zaman yang aneh. Anak tahu lagu TikTok sebelum bisa bicara. Namun tidak tahu rasa ikan karena belum pernah makan.
Di sisi lain, kita tidak bisa mengandalkan pemerintah saja. Setiap keluarga harus ikut bertanggung jawab. Ibu-ibu harus tahu memasak telur itu lebih penting daripada mengoleksi filter Instagram. Bapak-bapak harus sadar membeli susu anak bukan berarti mengorbankan kuota rokok dan internet. Ini soal masa depan bangsa dan bukan cuma berat badan anak.
Langkah pencegahan stunting harus melibatkan semua lapisan masyarakat. Tokoh agama, tokoh masyarakat, bahkan tukang sayur harus turut kampanye gizi. Sampaikan beli bayam itu investasi bukan pemborosan. Dorong setiap RT untuk memiliki “satgas gizi” yang bisa memantau pertumbuhan anak-anak di lingkungannya. Dan yang terpenting, buat semuanya konsisten. Jangan cuma heboh saat ada lomba posyandu.
Kota Balikpapan tidak kekurangan sumber daya. Tapi kota ini butuh kesadaran kolektif. Tidak cukup jika hanya satu dua orang peduli. Stunting tidak akan hilang dengan slogan. Melainkan dengan tindakan nyata. Mulai dari isi piring anak hingga isi kepala orang tuanya. Jika kita semua bergerak, angka 21,6 persen itu insyaAllah bisa turun. (*)
Discussion about this post