Balikpapan, Borneoupdate.com – Hujan gerimis mengiringi perjalanan kami dari Labuan Bajo menuju kampung Boleng, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Mobil yang kami tumpangi berupa truk dengan bak belakang yang disulap jadi tempat penumpang bersama barang-barangnya. Iya inilah sarana transportasi yang biasa dipakai masyarakat setempat.
Jalanan yang dilewati juga beragam. Mulai aspal mulus, aspal alakadarnya hingga jalanan tanah. Sopir yang mengemudi pun cukup lihai melintasi medan jalan ini. Sebab jalur yang kata orang setempat sebagai “pantura” Labuan Bajo ini baru setengah jadi. Sisanya masih berupa tanah.
Salah seorang warga yang bersama kami di truk berucap, “sebentar lagi jalanan akan diaspal tinggal menunggu pelaksanaan aja.” Terbukti jalanan yang berupa tanah sudah dalam kondisi rata dan dipasangi rambu penunjuk jalan.
Terbayang dalam benak kami bagaimana sulitnya mencapai kota bagi masyarakat yang bermukim di daerah seperti kampung Boleng bertahun-tahun yang lalu. Sampai akhirnya pengaspalan mulai dilakukan pemerintah.
Truk yang kami tumpangi mulai terasa berjalan lambat. Bagaimana mau cepat karena sekarang jalanannya cuma beralas tanah dan batu. Berdebu saat kering dan becek saat hujan turun. Kadang ada satu dua rumah menghiasi tepi jalan cukuplah menghibur pandangan di perjalanan. Bahkan saya dan seorang teman sempat membuat patah bangku di barisan belakang. Akibat tak kuat menahan badan kami berdua yang terguncang saat lewat jalan berbatu.
Sekitar pukul 18.30 WITA akhirnya sampailah kami di tempat yang dituju. Mentari terbenam bersama riuh suara anak-anak kampung Boleng mendekati truk yang kami tumpangi. Seorang pemuda berkaca mata berpostur langsing, Imam Walhidayat, dengan cekatan menyambut kedatangan rombongan. Dia berkata, “ayo bantu turunkan barang dan antar kakak-kakak menuju tempat menginap”.
Ternyata kampung Boleng hanya menjadi tempat persinggahan malam itu. Esok harinya kami akan melanjutkan perjalanan ke Kampung Pisang dan Kampung Pontianak bersama Imam sebagai penunjuk jalan. Sebab pemuda asal Palembang ini merupakan koordinator penyerahan bantuan donasi pendidikan di kedua kampung tersebut.
Pagi harinya usai sarapan, kami mulai mengangkut titipan para donatur ke kapal. Karena kampung yang dituju hanya bisa dicapai lewat jalur laut. Usai persiapan dilakukan kami mulai naik ke kapal setelah berjalan kaki sekitar 50 meter dengan air setinggi lutut saat air sedang surut. Setelah 30 menit melintasi laut kami pun sampai di Pulau Pisang. Tempat yang dituju adalah satu-satunya SD yang ada di pulau ini.
“Seperti membuka luka lama,” kata Imam saat mengajak kami dalam kegiatan donasi pendidikan kali ini. Bagaimana tidak, kondisi SD Kampung Pisang yang kami datangi hanya terdiri dari 2 ruangan untuk 4 kelas dengan jumlah murid 23 orang. Adapun guru yang ada hanya 2 orang, yakni pak Habibi dan istrinya. Mereka mengajar dengan cara menggabungkan kelas 1 dan 2 serta kelas 3 dan 4 untuk 2 ruang kelas yang ada.
Bahkan SD ini juga belum punya toilet sehingga siswa yang ingin buang air harus pulang ke rumah atau mencari tempat tersembunyi di semak dan hutan belakang sekolah. Belum lagi gaji yang diterima guru per bulannya hanya Rp 350.000 per bulan. Artinya pak Habibi dan istrinya mendapatkan total Rp 700.000 per bulan untuk mendidik calon penerus bangsa di masa depan.
Alhamdulillah, program donasi kali ini juga membawa bantuan pembangunan toilet untuk SD Kampung Pisang. Sehingga mereka tidak perlu jauh-jauh untuk buang air saat sedang kegiatan belajar. Termasuk juga perlengkapan sekolah yang dibagikan ke setiap siswa. Di antaranya seragam, sepatu, alat sekolah dan perlengkapan olahraga.
Tapi proses pengiriman bantuan kali ini tidak hanya sampai di Kampung Pisang. Keesokan harinya, kami kembali menempuh perjalanan laut sejauh 1 jam untuk mencapai Kampung Pontianak. Ditemani ombak yang cukup tinggi akhirnya rombongan sampai ditempat tujuan.
Sebuah SMP Muhammadiyah yang ada di pelosok menerima kami sebagai tamu. Usai turun dari kapal rombongan bersalaman dengan para siswa beserta gurunya yang berbaris menyambut kami. Di sekolah ini pun kami membagikan perlengkapan sekolah titipan dari para donatur.
“Kami banyak-banyak terima kasih atas kepedulian terhadap kami yang ada di pelosok,” kata Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Kampung Pontianak. Sebab kondisi pendidikan di pelosok masih jauh dari pemerataan seperti sekolah di perkotaan dan pusat kecamatan. Di tambah lagi masih kurangnya semangat orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Di mana dalam benak mereka buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau sudah bisa mendapatkan uang. Toh akhir dari sekolah juga mencari uang.
“Itulah alasan saya berdonasi di pelosok NTT ini,” kata Imam saat memberikan sambutan dihadapan warga dan pihak SMP Muhammadiyah Kampung Pontianak. Karena kondisi pendidikan di pelosok seringkali luput dari perhatian. Baik dari pemerintah maupun masyarakat yang peduli terhadap nasib pendidikan anak bangsa.
Meski pelosok mungkin bukan kawasan terdampak bencana namun kemiskinan pendidikan merupakan bencana yang tidak kurang berbahaya dampaknya. “Mereka butuh uluran tangan kita meski mereka tidak kena bencana alam,” tutup Imam. (FAD)
Discussion about this post