Setiap tahun, jutaan umat Islam berbondong-bondong menjejakkan kaki di Tanah Haram. Mereka rela berdesakan, berkeringat dan menahan emosi dalam antrean panjang. Bagi orang Indonesia, alumni ibadah ini dapat gelar Haji. Tapi tunggu dulu, gelar ini bukan sekadar tanda lulus ujian sabar di Arab Saudi. Haji bukan hanya soal tiket pesawat, koper besar, atau spanduk bertuliskan “Rombongan Kloter 23 – Semangat Berhaji”. Haji adalah lompatan spiritual yang seharusnya sekaligus lompatan moral.
Suatu ketika, seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, “amalan apa yang paling utama?” Beliau menjawab bahwa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah paling utama. Orang itu bertanya lagi, “lalu apa lagi?” Nabi berkata, “berjuang di jalan Allah.” Lalu orang itu bertanya lagi, “lalu apa lagi?” Maka beliau mengatakan haji yang mabrur.
Iya haji mabrur bukan haji mabur. Mabur berasal dari bahasa Jawa yang artinya terbang. Mungkin seperti postingan yang hanya melayang-layang di langit sosial media. Bukan pula haji selfie yang mengunggah tiap langkah di Instagram dengan caption puitis. Tapi lupa menghormati antrian makan di hotel. Haji mabrur ialah ibadah yang tuntas dan lebih penting lagi: membekas.
Ritual haji memang luar biasa. Wukuf di Arafah seolah menempatkan manusia di hadapan cermin kehidupan. Di Muzdalifah, manusia memungut batu, seolah sedang memungut kembali kesadaran spiritual yang tercecer. Di Mina, mereka melempar jumrah dengan penuh semangat, seperti ingin menghajar segala bisikan setan yang selama ini mungkin mereka pelihara dengan sayang.
Tapi yang tidak kalah penting bagaimana setelah pulang dari ibadah haji. Apa orang yang sudah ke sana bakalan berubah menjadi manusia yang lebih jujur, lebih sabar dan lebih peduli. Atau mungkin ada yang kembali menjadi hamba dunia. Sibuk mengatur jadwal umrah lanjutan dan membeli gamis baru untuk koleksi.
Allahuyarham Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, imam besar Masjid Istiqlal, pernah menulis artikel yang tajam dan menggelitik berjudul “Haji Pengabdi Setan”. Judul ini memang bikin kening berkerut dan jidat berkeringat. Tapi isi tulisannya cukup menyayat nurani.
Beliau mengkritik orang-orang kaya yang hobi mondar-mandir ke Tanah Suci. Seolah ibadah haji dan umrah bisa dijadikan pelarian spiritual yang instan. Sayangnya, semakin sering mereka beribadah, semakin tumpul empatinya di tanah air. Mereka menjadi haji yang rajin ke Ka’bah, tapi malas ke rumah tetangga yang kelaparan.
Padahal, Nabi jelas-jelas mengatakan bahwa haji mabrur tidak punya balasan lain kecuali surga. Tapi surga tidak murah. Ia tidak bisa dibeli dengan tiket first class, hotel bintang lima, atau paket VIP haji plus. Surga menuntut akhlak mulia setelah ritual selesai. Surga menuntut perubahan. Kalau dulu suka marah-marah di jalan, sekarang ya harus sabar. Kalau dulu hobi tipu-tipu dalam bisnis, sekarang harus jujur. Kalau dulu pelit, sekarang wajib dermawan. Kalau belum, ya berarti hajinya belum benar-benar mabrur.
Haji mabrur itu seperti kopi yang nikmat -ada aftertaste-nya. Setelah ibadah tuntas, harus ada rasa yang tertinggal dalam diri. Orang yang sudah haji mabrur seharusnya jadi lebih lembut hatinya, lebih ringan tangannya dan lebih teguh pendiriannya untuk menegakkan kebenaran. Kalau pulang haji tapi yang diomongin cuma oleh-oleh, berat koper atau harga kurma Ajwa, ya mohon maaf, itu baru haji piknik.
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah jemaah haji terbesar di dunia, seharusnya menjadi panutan. Bayangkan, kalau semua haji Indonesia betul-betul mabrur, korupsi bisa tamat, jalan berlubang bisa rata dan drama politik bisa lebih santun. Tapi kalau hajinya cuma jadi ajang prestise sosial ya perubahan hanya tinggal mimpi.
Mari kita akui, gelar “haji” itu kadang justru menjerumuskan. Orang takut mengkritik “Pak Haji” karena gelar itu terkesan sakral. Tapi kalau “Pak Haji” menipu, merampok dana bansos, atau mengintimidasi rakyat kecil, apakah kita harus diam karena hormat pada titel? Jangan sampai kita menghormati gelarnya, tapi membiarkan perilakunya menyimpang.
Akhirnya, haji mabrur itu bukan tentang seberapa sering ke Makkah, tapi seberapa besar perubahan dalam akhlak. Jangan sampai Allah mencatat kita sebagai “Haji Pengabdi Setan”. Orang yang rajin ritual tapi lupa moral. Jadi, kalau sudah haji, jangan hanya menenteng tas oleh-oleh. Bawalah juga pulang akhlak mulia. Itu baru haji yang benar-benar “mendarat”, bukan sekadar “mabur”. (*)
Discussion about this post