Di Balikpapan, aroma kompetisi tidak hanya berkeringat di lapangan, tapi juga menguap di ruang rapat KONI. Sejumlah pengurus dan cabang olahraga (cabor) kompak mengangkat tangan bukan untuk push-up. Tapi untuk mendesak percepatan Musyawarah Kota KONI Balikpapan. Mereka tampaknya sudah lelah dengan status quo dan ingin segera tahu siapa yang bakal duduk di kursi panas Ketua KONI selanjutnya.
Menanggapi desakan itu, pengurus KONI pun bergerak. Mereka masih membahas hal itu melalui rapat pleno. Termasuk menggandeng para pengurus cabor yang secara konstitusional memegang hak suara. Kalau dalam dunia olahraga ini semacam turnamen pra-musim: menentukan arah, menyusun strategi dan tentu saja memilih siapa yang pantas jadi kapten.
Namun di tengah tensi yang mulai meningkat, Walikota Balikpapan, Rahmad Mas’ud, datang dengan strategi ala pelatih kepala yang bijak. Ia menolak memberikan restu kepada siapapun. “Bertarunglah secara sehat dan elegan,” ujarnya, seolah sedang memberi briefing kepada para atlet sebelum final. Sikap ini patut diapresiasi sebagai sebuah langkah yang sangat strategis.
Rahmad tidak mau namanya terseret dalam drama “endorse” politik olahraga. Ia khawatir, kalau nanti yang mendapat restunya malah terbukti tidak amanah, nama baiknya bisa ikut terciprat. Dan benar juga, jabatan Ketua KONI bukan soal gengsi tapi soal prestasi. Karena yang dibutuhkan Balikpapan bukan tukang selfie di podium. KONI Balikpapan butuh sosok yang mampu mengangkat martabat olahraga hingga nasional. Atau minimal mengurus jadwal latihan cabor dengan tertib.
Pemerintah menginginkan KONI tidak jadi ajang adu pengaruh. Organisasi yang mewadahi olahraga ini harus menghasilkan pemimpin dari kesepakatan bersama. Bukan dari kuat-kuatan suara atau sampai kolusi berjubah aklamasi. Tentu sangat baik jika hasil musyawarah KONI menempatkan calon yang terpilih secara aklamasi. Artinya semua pengurus cabang olahraga bersepakat atas satu nama yang jadi pimpinan mereka.
Kata “aklamasi” sendiri sebenarnya punya dua wajah. Di satu sisi, ia terdengar damai dan bersatu: semua cabor sepakat, tidak ada debat panjang, tidak ada voting yang rawan gesekan. Tapi di sisi lain, kita semua tahu aklamasi bisa jadi kode halus untuk “sudah diatur dari awal.” Nah, di sinilah publik perlu kritis: jangan sampai olahraga yang seharusnya jadi simbol sportivitas justru dijadikan panggung kompromi politik yang membosankan.
Lucunya, di tengah riuh tuntutan percepatan musyawarah ini, justru prestasi olahraga Balikpapan sendiri seperti sedang jogging di tempat. Bukan karena atletnya malas, tapi karena organisasinya kerap lebih sibuk dengan urusan struktural daripada pembinaan. Apakah ini warisan sistem yang terlalu birokratis? Bisa jadi. Apakah ini karena terlalu banyak rapat dan terlalu sedikit latihan? Mungkin juga.
Kalau KONI ingin melahirkan juara, maka organisasinya sendiri harus ditangani oleh orang yang paham lapangan, bukan hanya lobi-lobi. Dan kalau benar semua pengurus cabor ingin musyawarah berjalan cepat dan lancar, maka mereka pun harus konsisten mendukung proses yang bersih, transparan, dan terbuka. Jangan sampai yang satu berteriak “demokrasi”, tapi diam-diam sibuk menyusun aklamasi.
Ke depan, kita tentu menginginkan KONI Balikpapan tidak lagi dipenuhi intrik politik kecil yang bikin pusing kepala. Biarlah para calon bertarung dengan ide dan visi, bukan dengan amplop dan restu. Karena olahraga, pada dasarnya, mengajarkan kita menang tanpa menginjak, kalah tanpa meratap dan bermain dengan jujur. Tidak seperti beberapa manuver dalam musyawarah organisasi yang kadang lebih licin dari lapangan futsal sehabis hujan. (*)
Discussion about this post