Balikpapan, Borneoupdate.com – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Balikpapan belum memberikan persetujuan secara resmi terhadap rencana kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pihak Lembaga legislatif meminta pemerintah mengkaji ulang rencana tersebut dengan memasukkan pertimbangan kondisi saat pandemi Covid-19.
Wakil Ketua DPRD Balikpapan, Subari menilai sejumlah sektor di masyarakat saat ini masih dalam kondisi terdampak Covid-19. Terutama sektor perekonomian yang menurun ketika pemerintah melakukan pembatasan terhadap kegiatan mereka. Untuk itu dirinya meminta pemerintah daerah harus mempertimbangkan kondisi masyarakat yang saat ini sedang kesulitan di tengah situasi krisis ekonomi sebagai dampak pandemi.
“Saya pikir PBB memang menjadi primadona pemasukan daerah. Namun kalua dinaikkan juga harus melihat kondisi hari ini. Kami minta pemerintah daerah seharusnya lebih memaksimalkan penarikan PBB dari objek pajak yang sudah ada, karena dari informasi yang diterima masih banyak wajib pajak yang membayar tidak sesuai kondisi sebenarnya,” ujarnya di kantor DPRD Balikpapan, Kamis (19/08).
Menurut Subari, dari laporan yang diterimanya, banyak pembayaran PBB yang belum sesuai kenyataan di lapangan. Ia mencontohkan masih adanya wajib pajak yang hanya membayar tarif buminya saja. Sementara lahan tersebut sudah berdiri bangunan permanen. Hal itu merupakan kewajiban dari Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPDRD) untuk melakukan update tarif yang harus dibayar sehingga otomatis PBB-nya naik.
“Seharusnya yang dilakukan BPPDRD adalah mengoptimalkan objek pajak yang ada karena memang masih banyak, pembayaran pajak PBB yang tidak sesuai diantaranya ada yang hanya membayar pajak buminya saja tapi bangunannya tidak dibayar, seharusnya itu yang dikejar. Saya yakin kalau itu dicari target Rp 850 miliar tersebut dapat tercapai,” lanjutnya.
Pada dasarnya, tambah Subari, pihak legislatif mendukung rencana pemerintah kota untuk menaikkan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi Rp 850 miliar pada tahun 2022 mendatang. Namun bukan mengarah pada kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berdampak pada kenaikan PBB. Tapi lebih mengarah pada pembaharuan data objek pajak menyesuaikan dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
“Memang semangatnya kemarin adalah menaikkan PAD menjadi Rp 850 miliar untuk menaikkan kinerja BPPDRD. Jadi secara pribadi, saya tidak setuju apabila besaran PBB dinaikan untuk mendongkrak potensi PAD. Apalagi kebijakan tersebut justru akan menambah beban masyarakat di tengah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kasian juga masyarakat,” tambahnya. (FAD)
Discussion about this post